Maaf (Bagian 1)

Aku sosok yang terduduk di bangku seberang jalan itu. Memandang sekitar yang penuh dengan lalu lalang kendaraan beroda empat ataupun beroda dua. Langit gelap terlihat berwarna-warni oleh kelap-kelip lampu kendaraan, lampu dari ruang gedung-gedung pencakar langit yang mengelilingi kota ini, juga oleh lampu jalan yang menyinariku di atas bangku ini, dan bulan yang malam ini terihat begitu sempurna dengan purnamanya yang begitu indah. Trotoar di tepian jalan ramai oleh lalu-lalang manusia yang berjalan kaki.

Ada laki-laki berkemeja biru muda polos, berkacamata, yang sedang menenteng tas sambil sesekali menengok jam tangan di tangan kirinya. Lelaki itu berjalan sedikit cepat. Mungkin ia ingin segera pulang ke rumahnya, melepas lelah dengan istri dan anak tercinta setelah melalui hari yang melelahkan di kantor.

Ada pula sepasang anak manusia, usia muda, sedang menikmati kebersamaan di malam yang indah ini. Si pria yang memakai jaket merah, merangkul si wanita yang memakai jaket biru gelap sambil bersenda gurau, dan terlihat tawa kecil dari wanita tersebut. Ah, mereka serasi sekali. Pria yang tampan dan wanita dengan paras anggun nan meneduhkan.

Ada pula anak-anak kecil yang bersepeda di jalur sepeda di tepi jalan dekat trotoar. Ada anak lelaki yang menaiki sepeda dengan lampu-lampu kecil berwarna-warni yang dililitkan ke sepedanya, disusul anak-anak lain dibelakangnya dengan sepedanya masing-masing.

Kota ini terlihat indah dan begitu ramai. Namun, bagiku yang sedang duduk di bangku ini, aku tidak merasa demikian. Ini malam yang menyebalkan! Aku tak kuasa lagi menutupi wajahku yang sudah bosan dan terlalu kesal ini.

***

Aaaaarrghhhhhh!!!

Aku panik! Semakin panik melihat jam di atas mejaku. Jam 20.20! Aaaahhh! Aku baru saja terbangun dari tidurku! Tidur yang sangat pulas setelah lelah dengan berbagai aktivitas di rumah sakit tadi. Periksa pasien, mengunjungi pasien rawat inap menggantikan dokter konsulen yang berhalangan hadir, kemudian harus memulai praktik juga di rumah sakit swasta dekat taman kota di siang hari. Pasien bejubel banyak sekali. Rasanya untuk bernafas hari ini pun terasa begitu sulit. Yah, bagaimanapun ini adalah risiko pekerjaanku sebagai dokter.

Aku segera meloncat, bukan berdiri lagi, dari kasurku dan berlari menuju kamar mandi. Seharusnya, meski seharian ini tadi sudah berlelah-lelah, hari ini akan menjadi hari yang sangat berkesan. Ah! Ini karena aku terlalu pulas dalam tidurku! Kubuka pintu kamar mandi dan bergegas mandi. Tak lama berselang, 10 menit, aku sudah selesai menyeka tubuhku dengan handuk. Kulihat lagi jam di atas mejaku. 20.30. Sudah terlalu larut. Ah! Aku semakin panik!

Kubuka pintu lemari bajuku. Aduh! Aku lupa menyiapkan baju untuk malam ini! Lemari bajuku terlihat kosong, hanya ada beberapa kemeja yang jarang kukenakan karena aku tidak begitu menyukai motifnya. Sementara kemeja favoritku masih tergantung di jemuran dekat balkon rumah. Sudah kering memang, tapi belum sempat disetrika. Kulihat lagi jam di atas mejaku. 20.32. Ah, sudah tidak ada waktu untuk menyetrika pakaian! Kuputuskan menyambar kemeja yang menurutku paling baik di antara kemeja yang tergantung di lemari, kemeja lengan panjang berwarna putih dengan garis vertikal. Aku pun memakai celana panjang warna hitam yang sebelumnya kukenakan seharian tadi. Terlihat sedikit kusam. Tapi, ya sudahlah. Sudah tidak ada waktu untuk menyetrika celana maupun kemeja yang baru dicuci pagi tadi. Kulihat lagi jam diatas mejaku. 20.45. Aduh! Sudah terlalu malam.

Bergegas aku keluar dari kamarku, berlari menuruni tangga, menuju garasi. Kunyalakan sepeda motor sport-ku dan membawanya menuju kota.

***

“Ini Coffee Misto-nya, Mbak.”

Suara pelayan kafe yang berdiri di depanku membuyarkan lamunanku. Lamunan yang menghampiri karena sudah terlalu kesal dan bosan. Pelayan tersebut kemudian meletakkan pesananku diatas meja

“Oh…iya, Mas. Terima kasih.”

Kuambil segelas Coffee Misto yang kupesan barusan. Merasakannya beberapa teguk. Kopi ini nikmat sekali. Namun, tetap tidak dapat mengembalikan mood-ku yang terlanjur kesal sedari tadi. Kini aku tidak duduk di bangku seberang jalan itu. Aku sudah berada di kafe seberang jalan bangku tersebut. Kupikir, meminum sedikit kopi akan mengembalikan keceriaanku di malam yang ramai dan indah ini. Kopi adalah salah satu minuman favoritku selain coklat. Kontras sekali, di mana kopi mengandung banyak kafein dan bersifat meningkatkan aktivitas saraf simpatis sehingga cenderung meningkatkan aktivitas organ-organ dalam tubuh, sementara cokelat justru bersifat relaksasi dan mood booster. Mungkin lebih cocok bila aku meminum segelas cokelat hangat pada saat ini. Namun, entah mengapa aku ingin menikmati segelas Coffee Misto di malam ini untuk mengembalikan mood. Sayangnya, itu tidak berhasil.

Malam ini sebenarnya sudah kupersiapkan begitu spesial. Kukenakan blus putih lengan panjang yang berpadu dengan rok biru. Ini adalah padanan baju yang paling aku sukai, karena banyak yang mengatakan aku terlihat cantik dan anggun dengan baju ini. Aku pun memakai sepatu terbaikku, hanya kukenakan bila ada acara spesial yang harus kuhadiri. Terakhir aku memakai sepatu ini saat pesta pernikahan salah satu sahabat terbaikku, Lisa, 8 bulan yang lalu.

Kini, aku terduduk di sebuah bangku dalam kafe ini. Bangku yang terdekat dengan tempat resepsionis. Menatap malam di luar sana dari tembok kaca yang mengelilingi kafe ini. Malam masih ramai. Tentu saja, seperti tadi kujelaskan di awal cerita, malam ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Bulan bersinar indah, malam cerah tanpa hujan, sederet toko-toko makanan, mulai dari kafe-kafe hingga restoran chinese di ujung jalan ini terlihat sangat ramai. Terutama kafe ini.

Banyak sekali orang yang mengantri di depan meja resepsionis kafe ini untuk memesan segelas kopi hangat ataupun makanan ringan seperti roti maupun donat. Ada yang datang sendirian, misalnya lelaki berambut ikal yang menjinjing tas kecil di tangan kirinya itu. Aku kira isi dari tas itu adalah sebuah laptop. Mungkin lelaki itu ingin mengerjakan tugasnya di kafe ini.

Ada pula seorang bapak, ibu, dan dua anaknya, yang satu laki-laki, berambut lurus dan pendek, memakai baju kuning dengan sedikit corak kemerahan di bagian depannya. Anak laki-laki itu tampak lucu sekali. Yang satu lagi, anak perempuan yang masih sangat kecil, yang sedang menikmati dalam gendongan ibunya. Matanya terbuka, tangannya bergerak-gerak seakan ingin meraih sesuatu. Lucu sekali.

Ada pula sepasang anak manusia, usia muda, yang baru saja memasuki kafe ini. Si pria yang memakai jaket merah, merangkul si wanita sambil memesan beberapa donat dan minuman. Si wanita dengan jaket biru gelap yang dirangkulnya tak berhenti tersenyum. Ah, mereka serasi sekali. Pria yang tampan dan wanita dengan paras anggun nan meneduhkan. Tunggu…bukankah itu pasangan yang tadi kulihat saat duduk di bangku seberang jalan itu? Ah, benar. Itu mereka. Mungkin mereka juga ingin menikmati indahnya malam ini dengan segelas kopi dan beberapa butir donat. Manis sekali.

By the way, donat di kafe ini memang terkenal sangat enak. Juga banyak variasi pilihannya. Aku sangat suka donat yang rasa mint dengan taburan chocochips crunch di atasnya. Manis dan segar. Setiap aku datang di kafe ini, pasti aku selalu membeli donat tersebut. Tidak hanya satu. Aku sering membeli hingga empat butir karena memang donat ini sangat enak. Namun, kali ini aku sedang tidak ingin mencicipi lezatnya donat mint chococips crunch itu.

-bersambung-

Karya: Hafidh Riza (2009)

Tinggalkan komentar