Apa itu banal? Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah:
ba.nal :
(adj.) kasar (tidak elok); biasa sekali: beberapa sajak yang lemah, ya malahan sangat banal sekali.
Kata banal pertama kali digunakan oleh Hannah Arendt dalam perjalanannya meneliti The Eichmann Trial pada tahun 1961. Untuk lebih memahami konsep banalitas mari kita cermati dulu peristiwa The Eichmann Trial.
The Eichmann Trial
Adolf Eichmann adalah seorang Obersturmbannführer (setara dengan letnan kolonel) Schutzstaffel (SS) dan seorang Nazi berpangkat tinggi saat perang dunia ke 2. Adolf Eichmann merupakan kaki tangan Hitler yang bertanggung jawab terhadap operasional pembunuhan orang yahudi didalam kamp konsentrasi selama perang dunia kedua. Setelah perang dunia berakhir dan Jerman kalah, Eichmann berpindah-pindah tempat untuk menghindari sejumlah pengejaran terhadap penjahat perang seperti dirinya yang aktivitas kriminalnya selama perang dunia kedua cukup diketahui banyak pihak. Pada akhirnya pada tahun 1960 dia diculik dan diterbangkan ke Israel untuk menjalani persidangan yang terkenal disebut sebagai The Eichmann Trial pada tahun 1961.
Arendt yang mengikuti persidangan Eichmann di Yerusalem menyatakan bahwa Eichmann seolah tidak merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya. Didepan persidangan Eichmann menyatakan bahwa ia melakukan itu semua karena hukum di negaranya pada waktu itu memang menganjurkan demikian, sehingga apa yang ia lakukan pada saat itu memang sesuai dengan garis hukum legal yang ada.
Secara logika sebagai seorang warga negara maka dia wajib menjalankan hukum yang ada didalam negara tersebut, dalam artian mematuhi hukum maka ia akan mendapatkan sebuah kebaikan atau kehormatan sedangkan untuk melawan hukum adalah sebuah tindakan tercela dan merupakan pelanggaran. Terhadap pernyataan ini Arendt menyatakan bahwa kejahatan yang dilakukan Eichmann adalah banal. Menurut Arendt pemikiran Eichmann pada saat itu merupakan ketidakmampuan atau ketumpulan akal budi dihadapan hegemoni kekuasaan dan pemerintahan pada saat itu dibawah kepemimpinan Adolf Hitler. Disini Eichmann melakukan penafsiran yang salah terhadap kategoris imperatifnya Kant sehingga berakibat fatal.
Kant seorang filsuf Jerman yang terkenal pernah menyatakan,
“Act so that the maxim of thy will can always at the same time hold good principle ofuniversal legislation” (bertindaklah sedemikian rupa sehingga maksim perbuatanmu pada saat yang sama dapat menjadi prinsip universal)
Untuk meneliti lebih lanjut mengenai kebanalan dan kecelakaan berpikir terhadap konsep kategoris imperatifnya Immanuel Kant mari kita telaah konsep pemikiran Kant.
Analisis Kategoris Imperatif Immanuel Kant
Metode pemikiran yang digunakan oleh Immanuel Kant adalah murni apriori atau sebelum pengalaman yang artinya masih murni belum terkontaminasi oleh pengalaman maupun pemikiran orang lain. Jadi sebuah moralitas bukanlah hal yang dipengaruhi dari luar melainkan murni dari dalam diri sendiri, hal ini disebut “autonomi kehendak”.
Kehendak yang baik menurut Kant adalah kehendak yang mau melakukan kewajiban. Jadi dalam perbuatan manusia yang dapat dianggap baik adalah ketika kita melakukannya sebagai bentuk kewajiban, bukan karena suatu apapun, terlepas dari apakah kita bahagia melakukannya atau konsekuensi apa yang akan kita hadapi. Konsep ini jelas berbeda dari konsep utilitarianisme yang mengatakan bahwa perbuatan baik adalah apa bila ketika melakukannya kita bahagia dan memiliki output yang baik pula. Sehingga perbuatan baik adalah perbuatan yang diyakini sebagai bentuk pengejawantahan perintah yang berasal dari proses rasional yang disadari sebagai keharusan, hal inilah yang disebut kategoris imperatif.
Contoh misal ketika kita sedang berjalan di pasar dan melihat ada seseorang yang dicopet, maka dengan segera kita mencoba menghentikan pencopet tersebut namun gagal dan pencopet berhasil kabur. Dalam hal ini dengan bertindak untuk menghentikan pencopet maka kita telah bertindak dari perintah yang merupakan proses rasional yang disadari merupakan sebuah keharusan (duty), bukan karena sebab lain dan tanpa melihat konsekuensi bahwa pencopet itu kabur. Maka menurut Kant, ini adalah perbuatan dari kehendak baik (good will).
Kembali ke permasalahan Adolf Eichmann, dia mengutip kategoris imperatif Kant namun kewajiban yang dilakukan disini adalah berdasarkan keinginan penguasa pada saat itu. Bukan kewajiban karena merupakan proses pikir rasional yang menjadi keharusan. Karena itu Arendt menyatakan adanya ketumpulan akal budi dan kedangkalan proses rasional ini sehingga menyatakan perbuatan jahat Adolf Eichmann tidaklah murni sebuah kejahatan, melainkan Banalitas Kejahatan karena tidak melibatkan emosi dan adanya kepatuhan yang luar biasa terhadap perintah dari penguasa tanpa adanya proses pikir rasional dari perintah yang diberikan itu. Hal merupakan hasil dari kedangkalan akal budi dan Eichmann menganggap perbuatannya adalah hal yang “biasa” karena merupakan hukum yang berlaku pada saat itu di negaranya. Dari pernyataan ini dapat kita simpulkan bahwa konteks banalitas mengandung “keterbiasaan” dan “kedangkalan” maka dari itu dikatakan banal. Lalu apa itu Banalitas Kebaikan?
Gerakan Mahasiswa sebagai sebuah Banalitas
Subjek yang saya ambil disini adalah mahasiswa yang berada didalam struktur artifisial yang kita sebut “Pemerintahan Mahasiswa” yang notabene dibawah kendali Fakultas dan Universitas dengan ilusi Independensi yang dibangun oleh mahasiswa karena pada kenyataannya jaman sekarang mahasiswa lebih suka memprotes Presiden dan Negaranya ketimbang kampusnya sendiri. Dalam kerjanya pemerintahan mahasiswa ini sering melakukan hal-hal yang bersifat baik seperti pembimbingan mahasiswa baru, advokasi dan aksi terhadap hal-hal yang dianggap tidak adil baik dikampus maupun luar kampus ataupun kegiatan sosial seperti bakti sosial. Semua itu dijawantahkan sebagai program kerja yang sifatnya rutin dan terstruktur dengan baik dan rapi yang sudah diagendakan jauh-jauh hari.
Pertanyaannya adalah apakah kegiatan “baik” tersebut merupakan hasil dari rasionalisasi akal budi secara sadar dan merupakan kewajiban (duty) yang bersumber dari kehendak baik atau memang merupakan kewajiban karena begitulah seharusnya yang disarankan dan diatur dalam hukum di lingkup baik fakultas maupun universitas? Apakah tindakan baik tersebut hanya merupakan sandiwara belaka untuk memenuhi hasrat selama menjabat untuk memperlihatkan diskursus mahasiswa yang dibentuk oleh pihak kampus?
Ketika adanya momen sunatan massal, cek kesehatan gratis, dan bakti sosial yang dilaksanakan ke desa binaan maupun lokasi lainnya semua berbondong-bondong melakukan rapat semalam suntuk untuk melaksanakannya karena itu semua sudah ada dialam program kerja yang telah digariskan dan disetujui oleh pihak kampus. Kecuali ketika ada bencana alam berskala besar baru berbondong-bondong menyampaikan bantuan karena itulah fungsi mereka dan itu harus dapat dukungan pihak kampus (kecuali kalau bencana kemanusiaan di luar negeri sana asal “kepercayaannya” sama maka hal itu bukanlah masalah).
Berbeda ketika ada penindasan maupun bencana kemanusiaan di dalam negeri yang tidak diprokerkan seperti kasus kekerasan di Papua, penghajaran petani di Urutsewu oleh aparatur represif negara, maka hal itu bukanlah hal yang layak didiskusikan apalagi dibantu, karena sarat kepentingan dan kewajiban mereka adalah menjalankan proker. Jika menilik kategoris imperatif Kant bahwa seharusnya ada proses rasional dan kehendak baik dibalik semua tindakan baik maka apakah seluruh tindakan tersebut bisa dikatakan sebagai perbuatan baik? Maka apakah ketika mereka melaksanakan kewajiban mereka dalam hukum organisasi itu bisa dikatakan sebagai sebuah kebaikan? Kedangkalan dan keterbiasaan dalam menjalani apa yang disebut dengan kebaikan inilah yang mencirikan gerakan mahasiswa yang sebenarnya merupakan sebuah banalitas kebaikan. Bahwa kebaikan dicapai dengan sebuah posisi struktural dan program kerja yang rutin, terus menerus dan bila ada yang diluar program kerja maka tidak usah dilaksanakan. Terdapat ketumpulan akal budi dan ketiadaan proses rasional dalam memahami kewajiban moral ini sebagai duty.
Sehingga patut dipertanyakan apakah semua kegiatan “baik” yang mereka lakukan dalam kapasitasnya sebagai pejabat mahasiswa adalah banalitas kebaikan? Ketika mereka lepas dari struktur tersebut dan terjun ke masyarakat yang sebenarnya (lulus dari kampus) maka apakah perbuatan “baik” tersebut akan berhenti? Atau hanya akan berubah dalam bentuk lain? Dari kewajiban sebagai pejabat kampus yang dikendalikan oleh universitas dan fakultas menjadi kewajiban dari pihak lain?
Ketika mereka menolak melakukan sekedar pertolongan kepada petani yang dihajar di Urutsewu sana oleh aparatur represif negara tersebut, yang memang bukanlah hal rutin dan tidak ada sebagai kewajiban organisasi mereka yang tertuang dalam program kerja dan lebih memilih melaksanakan apa yang ada didalamnya bukankah semua kebaikan yang selama ini dilakukan bukanlah bentuk pengejawantahan kewajiban (duty)?
Seandainya mahasiswa mampu menalar dan berpikir rasional tentang peran mereka sebagai rakyat dan sebagai manusia tidaklah heran ketika kesadaran akan berbuat baik bukan lagi dalam bentuk yang diformalkan dan tertuang dalam hukum tertulis, melainkan ada pada nurani mereka bukan sebagai mahasiswa saja, bukan sebagai aktivis saja, namun sebagaimana apa yang mendefinisikan manusia yaitu proses rasional dan akal budi. Ketika itu semua tercapai maka sebagai manusia yang memiliki nurani, dunia akan menjadi tempat yang lebih baik.
Referensi:
- Aurelius, 2012. Banalitas Kejahatan (Kajian Atas Positivisme Hukum Setelah Perang Dunia ke 2). diakses pada 11 September 2015 di https://michelaurel.wordpress.com/2012/07/30/banalitas-kejahatan-kajian-atas-positivisme-hukum-setelah-perang-dunia-2/
- Nur Jannah, 2013. Etika Immanuel Kant. diakses pada 11 September 2015 di https://heavenkant.wordpress.com/2013/02/12/etika-immanuel-kant/
- Kant Immanuel, 2005. Kritik Atas Akal Budi Praktis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Franz Magnis –Suseno. 1997.“13 Tokoh Etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19”.
Karya: Lutfi Maulana (2011)