Gerakan Mahasiswa: Sebuah Banalitas Kebaikan?

Apa itu banal? Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah:

ba.nal :

(adj.) kasar (tidak elok); biasa sekali: beberapa sajak yang lemah, ya malahan sangat banal sekali.

Kata banal pertama kali digunakan oleh Hannah Arendt dalam perjalanannya meneliti The Eichmann Trial pada tahun 1961.  Untuk lebih memahami konsep banalitas mari kita cermati dulu peristiwa The Eichmann Trial.

The Eichmann Trial

Adolf Eichmann adalah seorang Obersturmbannführer (setara dengan letnan kolonel) Schutzstaffel (SS) dan seorang Nazi berpangkat tinggi saat perang dunia ke 2. Adolf Eichmann merupakan kaki tangan Hitler yang bertanggung jawab terhadap operasional pembunuhan orang yahudi didalam kamp konsentrasi selama perang dunia kedua. Setelah perang dunia berakhir dan Jerman kalah, Eichmann berpindah-pindah tempat untuk menghindari sejumlah pengejaran terhadap penjahat perang seperti dirinya yang aktivitas kriminalnya selama perang dunia kedua cukup diketahui banyak pihak. Pada akhirnya pada tahun 1960 dia diculik dan diterbangkan ke Israel untuk menjalani persidangan yang terkenal disebut sebagai The Eichmann Trial pada tahun 1961.

Arendt yang mengikuti persidangan Eichmann di Yerusalem menyatakan bahwa Eichmann seolah tidak merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya. Didepan persidangan Eichmann menyatakan bahwa ia melakukan itu semua karena hukum di negaranya pada waktu itu memang menganjurkan demikian, sehingga apa yang ia lakukan pada saat itu memang sesuai dengan garis hukum legal yang ada.

Secara logika sebagai seorang warga negara maka dia wajib menjalankan hukum yang ada didalam negara tersebut, dalam artian mematuhi hukum maka ia akan mendapatkan sebuah kebaikan atau kehormatan sedangkan untuk melawan hukum adalah sebuah tindakan tercela dan merupakan pelanggaran. Terhadap pernyataan ini Arendt menyatakan bahwa kejahatan yang dilakukan Eichmann adalah banal. Menurut Arendt pemikiran Eichmann pada saat itu merupakan ketidakmampuan atau ketumpulan akal budi dihadapan hegemoni kekuasaan dan pemerintahan pada saat itu dibawah kepemimpinan Adolf Hitler. Disini Eichmann melakukan penafsiran yang salah terhadap kategoris imperatifnya Kant sehingga berakibat fatal.

Kant seorang filsuf Jerman yang terkenal pernah menyatakan,

Act so that the maxim of thy will can always at the same time hold good principle ofuniversal legislation” (bertindaklah sedemikian rupa sehingga maksim perbuatanmu pada saat yang sama dapat menjadi prinsip universal)

Untuk meneliti lebih lanjut mengenai kebanalan dan kecelakaan berpikir terhadap konsep kategoris imperatifnya Immanuel Kant mari kita telaah konsep pemikiran Kant.

Analisis Kategoris Imperatif Immanuel Kant

Metode pemikiran yang  digunakan oleh Immanuel Kant adalah murni apriori atau sebelum pengalaman yang artinya masih murni belum terkontaminasi oleh pengalaman maupun pemikiran orang lain. Jadi sebuah moralitas bukanlah hal yang dipengaruhi dari luar melainkan murni dari dalam diri sendiri, hal ini disebut “autonomi kehendak”.

Kehendak yang baik menurut Kant adalah kehendak yang mau melakukan kewajiban. Jadi dalam perbuatan manusia yang dapat dianggap baik adalah ketika kita melakukannya sebagai bentuk kewajiban, bukan karena suatu apapun, terlepas dari apakah kita bahagia melakukannya atau konsekuensi apa yang akan kita hadapi. Konsep ini jelas berbeda dari konsep utilitarianisme yang mengatakan bahwa perbuatan baik adalah apa bila ketika melakukannya kita bahagia dan memiliki output yang baik pula. Sehingga perbuatan baik adalah perbuatan yang diyakini sebagai bentuk pengejawantahan perintah yang berasal dari proses rasional yang disadari sebagai keharusan, hal inilah yang disebut kategoris imperatif.

Contoh misal ketika kita sedang berjalan di pasar dan melihat ada seseorang yang dicopet, maka dengan segera kita mencoba menghentikan pencopet tersebut namun gagal dan pencopet berhasil kabur. Dalam hal ini dengan bertindak untuk menghentikan pencopet maka kita telah bertindak dari perintah yang merupakan proses rasional yang disadari merupakan sebuah keharusan (duty), bukan karena sebab lain dan tanpa melihat konsekuensi bahwa pencopet itu kabur. Maka menurut Kant, ini adalah perbuatan dari kehendak baik (good will).

Kembali ke permasalahan Adolf Eichmann, dia mengutip kategoris imperatif Kant namun kewajiban yang dilakukan disini adalah berdasarkan keinginan penguasa pada saat itu. Bukan kewajiban karena merupakan proses pikir rasional yang menjadi keharusan. Karena itu Arendt menyatakan adanya ketumpulan akal budi dan kedangkalan proses rasional ini sehingga menyatakan perbuatan jahat Adolf Eichmann tidaklah murni sebuah kejahatan, melainkan Banalitas Kejahatan karena tidak melibatkan emosi dan adanya kepatuhan yang luar biasa terhadap perintah dari penguasa tanpa adanya proses pikir rasional dari perintah yang diberikan itu. Hal merupakan hasil dari kedangkalan akal budi dan Eichmann menganggap perbuatannya adalah hal yang “biasa” karena merupakan hukum yang berlaku pada saat itu di negaranya. Dari pernyataan ini dapat kita simpulkan bahwa konteks banalitas mengandung “keterbiasaan” dan “kedangkalan” maka dari itu dikatakan banal. Lalu apa itu Banalitas Kebaikan?

Gerakan Mahasiswa sebagai sebuah Banalitas

Subjek yang saya ambil disini adalah mahasiswa yang berada didalam struktur artifisial yang kita sebut “Pemerintahan Mahasiswa” yang notabene dibawah kendali Fakultas dan Universitas dengan ilusi Independensi yang dibangun oleh mahasiswa karena pada kenyataannya jaman sekarang mahasiswa lebih suka memprotes Presiden dan Negaranya ketimbang kampusnya sendiri. Dalam kerjanya pemerintahan mahasiswa ini sering melakukan hal-hal yang bersifat baik seperti pembimbingan mahasiswa baru, advokasi dan aksi terhadap hal-hal yang dianggap tidak adil baik dikampus maupun luar kampus ataupun kegiatan sosial seperti bakti sosial. Semua itu dijawantahkan sebagai program kerja yang sifatnya rutin dan terstruktur dengan baik dan rapi yang sudah diagendakan jauh-jauh hari.

Pertanyaannya adalah apakah kegiatan “baik” tersebut merupakan hasil dari rasionalisasi akal budi secara sadar dan merupakan kewajiban (duty) yang bersumber dari kehendak baik atau memang merupakan kewajiban karena begitulah seharusnya yang disarankan dan diatur dalam hukum di lingkup baik fakultas maupun universitas? Apakah tindakan baik tersebut hanya merupakan sandiwara belaka untuk memenuhi hasrat selama menjabat untuk memperlihatkan diskursus mahasiswa yang dibentuk oleh pihak kampus?

Ketika adanya momen sunatan massal, cek kesehatan gratis, dan bakti sosial yang dilaksanakan ke desa binaan maupun lokasi lainnya semua berbondong-bondong melakukan rapat semalam suntuk untuk melaksanakannya karena itu semua sudah ada dialam program kerja yang telah digariskan dan disetujui oleh pihak kampus. Kecuali ketika ada bencana alam berskala besar baru berbondong-bondong menyampaikan bantuan karena itulah fungsi mereka dan itu harus dapat dukungan pihak kampus (kecuali kalau bencana kemanusiaan di luar negeri sana asal “kepercayaannya” sama maka hal itu bukanlah masalah).

Berbeda ketika ada penindasan maupun bencana kemanusiaan di dalam negeri yang tidak diprokerkan seperti kasus kekerasan di Papua, penghajaran petani di Urutsewu oleh aparatur represif negara, maka hal itu bukanlah hal yang layak didiskusikan apalagi dibantu, karena sarat kepentingan dan kewajiban mereka adalah menjalankan proker. Jika menilik kategoris imperatif Kant bahwa seharusnya ada proses rasional dan kehendak baik dibalik semua tindakan baik maka apakah seluruh tindakan tersebut bisa dikatakan sebagai perbuatan baik? Maka apakah ketika mereka melaksanakan kewajiban mereka dalam hukum organisasi itu bisa dikatakan sebagai sebuah kebaikan? Kedangkalan dan keterbiasaan dalam menjalani apa yang disebut dengan kebaikan inilah yang mencirikan gerakan mahasiswa yang sebenarnya merupakan sebuah banalitas kebaikan. Bahwa kebaikan dicapai dengan sebuah posisi struktural dan program kerja yang rutin, terus menerus dan bila ada yang diluar program kerja maka tidak usah dilaksanakan. Terdapat ketumpulan akal budi dan ketiadaan proses rasional dalam memahami kewajiban moral ini sebagai duty.

Sehingga patut dipertanyakan apakah semua kegiatan “baik” yang mereka lakukan dalam kapasitasnya sebagai pejabat mahasiswa adalah banalitas kebaikan? Ketika mereka lepas dari struktur tersebut dan terjun ke masyarakat yang sebenarnya (lulus dari kampus) maka apakah perbuatan “baik” tersebut akan berhenti? Atau hanya akan berubah dalam bentuk lain? Dari kewajiban sebagai pejabat kampus yang dikendalikan oleh universitas dan fakultas menjadi kewajiban dari pihak lain?

Ketika mereka menolak melakukan sekedar pertolongan kepada petani yang dihajar di Urutsewu sana oleh aparatur represif negara tersebut, yang memang bukanlah hal rutin dan tidak ada sebagai kewajiban organisasi mereka yang tertuang dalam program kerja dan lebih memilih melaksanakan apa yang ada didalamnya bukankah semua kebaikan yang selama ini dilakukan bukanlah bentuk pengejawantahan kewajiban (duty)?

Seandainya mahasiswa mampu menalar dan berpikir rasional tentang peran mereka sebagai rakyat dan sebagai manusia tidaklah heran ketika kesadaran akan berbuat baik bukan lagi dalam bentuk yang diformalkan dan tertuang dalam hukum tertulis, melainkan ada pada nurani mereka bukan sebagai mahasiswa saja, bukan sebagai aktivis saja, namun sebagaimana apa yang mendefinisikan manusia yaitu proses rasional dan akal budi. Ketika itu semua tercapai maka sebagai manusia yang memiliki nurani, dunia akan menjadi tempat yang lebih baik.

Referensi:

  1. Aurelius, 2012. Banalitas Kejahatan (Kajian Atas Positivisme Hukum Setelah Perang Dunia ke 2). diakses pada 11 September 2015 di https://michelaurel.wordpress.com/2012/07/30/banalitas-kejahatan-kajian-atas-positivisme-hukum-setelah-perang-dunia-2/
  2. Nur Jannah, 2013. Etika Immanuel Kant. diakses pada 11 September 2015 di https://heavenkant.wordpress.com/2013/02/12/etika-immanuel-kant/
  3. Kant Immanuel, 2005. Kritik Atas Akal Budi Praktis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  4. Franz Magnis –Suseno. 1997.“13 Tokoh Etika : sejak zaman Yunani sampai abad ke-19”. 

Karya: Lutfi Maulana (2011)

Senandung Jantung Berruang Empat

Untuk kamu yang penuh misteri – pengundang tanya

Senandung jantung berruang empat

Di sebelah kanan – serambi dan bilik

Genggam aku yang sedikit lagi tergelincir dari ujung bulu matamu, sangat licin, hendak

Mudah membuatku meluncur menuju bola matamu lalu langsung ke tatapanmu yang dalam

Bahkan terlalu dalam, ah, seandainya kau tidak terpejam saat aku tepat di fokus lensa matamu

Andai

Senandung jantung berruang empat

Di sebelah kiri – serambi dan bilik

Di masing-masing ruang jantung, berebut getar, kala senja berbaris serupa lika-liku

Senyum iritmu di angan nurani, baru saja nurani berangan – bukan aku – dan menggelitik

Hingga jantung berruang empat bergetar, padahal hanya kudengar namamu

Di setiap episode:

Kau memang tega menyerang tiap-tiap ruang jantung. Aku memang amatir ihwal

menjadi mata-mata – melihatmu dengan jarak (bila dari dekat persediaan nyaliku belum cukup)

Hingga malam detaknya enggan melemah

(percepatan dua kali lipat jantung karenamu)

Karya: Mia Octavia (2014)

Untuk Mata Berkacamata

Mata kacamata

Aku ada sedikit cerita

Dari seorang dosen yang sedang bercanda

Katanya, seorang dokter tidak boleh menatap pasiennya lebih dari empat detik nanti pasiennya jatuh cinta

Jika itu benar, dan jika kamu dokter dan aku pasiennya

Kamu harus menatapku berapa detik, ya?

Mata kacamata

Semakin dalam tatapanmu maka semakin dalam pengharapanku

Ah, berani-beraninya aku menginginkanmu

Terlalu obsesi sehingga memimpikanmu

Maafkan aku yang tidak suka wanita-wanita lain mengelukanmu

Padahal, siapa aku?

Mata kacamata

Tak perlulah kamu menghindar, karena aku tak akan mengejar

Tak usahlah kamu bersembunyi, karena aku tak akan menghampiri

Cukuplah tersenyum manis dari kejauhan

Mata kacamata

Bagaimana ini, aku benar-benar tak tahu diri

Apakah wajar jika sampai menangisi?

Karya: Ziyan Bilqis Amran (2014)

#Kolom Redaksi – Sidang Istimewa KBMK Unsoed 2015: Sebuah Opini

Capturekbmk

Bismillahirahmanirahim,

Sidang Istimewa KBMK Unsoed berakhir pada tanggal 6 September 2015 lalu dengan menghasilkan beberapa keputusan yakni:

  1. Menyepakati berdirinya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran
  2. Tidak menyepakati adanya BEM FK yang dibentuk sebelum Sidang Istimewa
  3. Kesepakatan konsep tata organisasi kemahasiswaan tingkat Jurusan dan tingkat Fakultas

Keputusan tersebut selanjutnya akan dibawa sebagai konsiderasi dari KBMK di Sidang Umum bersama antara mahasiswa KU dan KG.

Konsep Pemenuhan Kebutuhan

Kata-kata “pemenuhan kebutuhan” berulang disebutkan saat sidang utamanya terkait urgensi dari BEM FK. BEM FK adalah suatu keniscayaan, mengingat hari ini eksekutif dan legislatif di KBMK sedang terserang sindrom galau yang teramat sangat. Di satu sisi, harus mengupayakan kebutuhan mahasiswa di tingkat fakultas dan universitas (walaupun sering blunder, karena mengatasnamakan jurusan). Internalisasi budaya dan pembangungan kantung massa jurusan di sisi yang lain justru kadang terlupakan. Dari sini timbul pemikiran dibutuhkannya suatu badan yang meng-uphold kebutuhan semesta Fakultas Kedokteran.

Sama halnya dengan UKM. Jumlahnya yang gemuk ibarat ikan besar yang hidup di kolam kecil bernama KBMK. Fakultas, diyakini sanggup menjadi jawaban atas kebutuhan market yang lebih besar.

Perubahan Sosial

KBMK sebagai sistem sosial memiliki sifat yang dinamis. Seperti dua sisi mata koin dengan yang namanya perubahan sosial. Dalam berbagai kasus, perubahan sosial berawal dari dua faktor: kelemahan sistem itu sendiri dan/atau tidak berfungsinya organ-organ yang menjalankan sistem dan semakin diperparah oleh adanya tumpang tindih kewenangan antar organ-organ tersebut. Misal, ini misal lho ya. Legislatif yang tidak tahu siapa yang diwakili, fungsi eksekutif yang terkebiri, atau unit-unit kegiatan yang sibuk mengurusi masalah sumber daya manusia sampai lupa dengan fungsi “mengembangkan minat dan bakat anggotanya”.

Lemahnya kesadaran anggota – sebagai pemegang kedaulatan – untuk melakukan pengawasan disinyalir memberi sumbangan terhadap runtuhnya sistem yang ada. Sebagai contoh, forum-forum pengambilan keputusan yang tidak kunjung mencapai kuorum. Kemudahan berinteraksi karena perkembangan teknologi menjadi faktor bagaimana forum untuk membahas hal yang urgent bukan lagi dimaknai sebagai sebuah social group yang berkumpul secara fisik, melainkan individu-individu yang saling terhubung lewat bermacam media yang ada.

Banyak tulisan yang mengartikan fenomena di atas sebagai disorientasi pergerakan mahasiswa. Atau sebagai anti-tesis, karakteristik gerak mahasiswa sedang berubah ke arah kekinian (Generasi Y). Menjadi pertanyaan, apakah perubahan tersebut sudah diakomodir atau belum oleh sistem-sosial-bernama-KBMK?

Disorganisasi Sosial

Ibarat dua mata pedang, perubahan sosial bisa membawa tatanan organisasi ke arah yang lebih baik (organisasi sosial) atau malah semakin merusak tatanan itu sendiri (disorganisasi sosial). Teori sosial yang berlaku menyebutkan setiap disorganisasi pasti muncul reorganisasi – kesadaran untuk mengembalikan tatanan -. Ketiga hal tersebut seperti membentuk pola. KBMK kini tengah berada pada fase reorganisasi agar disorganisasi yang dideritanya dapat sembuh.

Menurut Vembrianto (1984), disorganisasi dibagi menjadi disorganisasi skismatik dan disorganisasi fungsional. Jenis pertama disebabkan terpecahnya kekuatan organisasi sosial untuk mengikat anggotanya. Sedangkan jenis kedua muncul karena elemen-elemen fungsional dalam organisasi tidak dapat berlaku fungsional. Berikut ini merupakan gejala-gejala disorganisasi sosial:

  1. Formalisme; dipertahankannya peraturan dan prosedur yang telah kehilangan artinya di masyarakat. Prosedur forum, sidang, atau musyawarah yang terlalu saklek misalnya. Atau sistem keterwakilan yang buntu sehingga gerak dan pemikiran harus dikembalikan kepada anggotanya secara parsial. Untuk menentukan nasib mereka sendiri.
  2. Individualisme; adanya individualitas dalam hal minat dan kesukaan tanpa integrasi. Menciptakan sifat oportunis yang sejati, tiap-tiap individu hadir saat bahasan yang menguntungkan dirinya namun tidak mau tahu akan kepentingan bersama.
  3. Kesukaran semantik; yaitu penyimpangan dalam interpretasi bahasa dan dapat menimbulkan konflik. Biasanya terjadi antara golongan tua dan golongan muda. 
  4. Saling tidak percaya terhadap kelompok lain sebagai akibat dari individualisasi dan segmentasi di masyarakat. Membiasakan budaya “ngomongin di belakang” dari tahun-ke-tahun yang terus terjadi, serta keengganan untuk memperhatikan esensi.
  5. Kegelisahan terus menerus yang menimbulkan ketidakpuasan yang meluas.

Reorganisasi Sosial

Sebuah harga mati jika kondisi patologis ini harus cepat diatasi. Analoginya sama saja seperti pasien yang anggota geraknya mengalami nekrosis sehingga terjadi kehilangan fungsi (damn nulsance). Indikasinya, amputansi. Kehilangan anggota gerak dapat lebih buruk daripada tidak mempunyai anggota gerak sama sekali.

Namun reorganisasi tidak menjamin terwujudnya tatanan yang lebih baik. Ada dua hal, yakni kesadaran serta konsensus dari semua elemen anggota agar side effectnya dapat di manage secara lege artis. Perlu inform consent agar si pasien paham benar prosedur terapi, benefit, maupun risiko yang mungkin terjadi. Iya, Kan? (red)

Referensi:

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KBMK Unsoed

Gobe, M. 2005. Emotional Branding. Jakarta: Erlangga

Keputusan Sidang Istimewa KBMK Unsoed Nomor: 002/SIDIS-KBMK/FK-UNSOED/IX/2015

Maryati, K., dan Suryawati, J. 2014. Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XII. Jakarta: ESIS

Suratno, et al. 2008. Seri Asuhan Keperawatan: Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC

Majalah Spektrum ISMKI – Edisi Agustus 2015

Di tengah maraknya polemik tentang Dokter Layanan Primer (DLP), carut-marut sistem internsip dan masalah-masalah lain di dunia pendidikan dan profesi kedokteran, ternyata masih banyak mahasiswa kedokteran yang tidak mengetahui alur, peluang pendidikan dan pekerjaan yang dimiliki oleh dokter di Indonesia.

Masih ada stigma bahwa jadi dokter haruslah menjadi spesialis, padahal banyak pilihan lain yang bisa diambil sesuai dengan potensi, bakat, dan minat calon dokter itu sendiri.

Divisi Spektrum BPN ISMKI bersama UKM Medical Torch Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman mengangkat tema “Medical Career Pathways” dalam Majalah Spektrum Edisi Agustus 2015.

Beragam informasi mengenai pilihan karir di dunia medis akan dikupas dalam majalah ini.

11947690_1205607896132781_5345061103630574926_n

Klik disini untuk download. Check it out!

Angan

Ketika doamu tak tersampaikan

Ketika mimpimu hanya sebatas angan

Ketika harapan hanya bisa tersimpan

Ketika kisah tentangmu tak ada ajaran

Apakah kau harus berlari pergi?

Tak lagi mengejar mimpi?

Tak lagi meraih harapan?

Tak peduli akan masa depan?

Karena itu hanya sebatas angan?

Aku lelah

Haruskah ku menyerah?

Sampai kapan aku harus pasrah

Tanpa tujuan yang terarah?

Apakah aku sampah?

Yang selayaknya hidup hampa

Ataukah tak ada yang peduli

Dengan diriku ini?

Karya: Rakhmi Fatharani (2014)

Wujudkan Harmonisasi dan Sinergitas, Gapai Cahaya ISMKI

Berlangsung selama 3 hari, dari 5-7 Desember 2014, Pengurus Harian Wilayah 3 Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia mengadakan Musyawarah Wilayah yang merupakan kegiatan akhir tahun untuk menutup periode kepengurusan 2014. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman ini dihadiri oleh 12 institusi dari total 14 institusi yang berada di wilayah 3 dengan total delegasi kurang lebih mencapai 100 delegasi.

Seperti biasa, agenda dari kegiatan ini diisi dengan pemaparan laporan pertanggungjawaban dari kepengurusan yang dipimpin oleh Fachrurozi Irsyad selaku Sekretaris Wilayah 3, kemudian adapula sidang komisi yang berisi pembahasan mengenai rekomendasi dan hal-hal penting lainnya terkait kepengurusan di tahun mendatang. Selain itu, dilakukan pula agenda tenderisasi untuk kegiatan-kegiatan yang akan diadakan di tahun 2016 di mana didapatkan hasil, yaitu Rapat Koordinasi Wilayah akan diselenggarakan di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wicana, Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa Wilayah akan diselenggarakan di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Bakti Sosial Wilayah akan diselenggarakan di Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman, dan Musyawarah Wilayah akan diselenggarakan di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Tak kalah penting dan menjadi agenda yang paling ditunggu dalam Musyawarah Wilayah adalah pemilihan Sekretaris Wilayah untuk periode kepengurusan 2015. Tahun ini ada 2 calon yang mendaftarkan diri untuk menjadi penerus tongkat estafet kepemimpinan di kepengurusan mendatang. Calon yang pertama adalah Rijal Maulana Haqim dari Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan calon yang kedua adalah Seftiandar Mega Riandana dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah melalui berbagai tahapan dan musyawarah yang begitu alot, baru ketika waktu menunjukan pukul 3 pagi di hari Minggu, diputuskanlah bahwa Rijal Maulana Haqim terpilih menjadi Sekretaris Wilayah 3 untuk periode kepengurusan 2015.

Hari terakhir pun tiba dan kegiatan ini ditutup dengan Medical Expo yang merupakan agenda yang diperuntukan bagi adik-adik SMA yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan tingginya di jurusan kedokteran. Medical Expo yang diikuti sekitar 160 peserta ini diisi dengan seminar mengenai gambaran menjadi seorang mahasiswa kedokteran dan juga terdapat berbagai stand dari institusi yang hadir di Musyawarah Wilayah ini. Dengan berakhirnya Medical Expo, maka berakhir pula rangkaian Musyawarah Wilayah 3 Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia di Kota Satria, Purwokerto. (Iqbal)

Bisa juga dibaca di http://www.spektrumonline.bpn-ismki.org/2014/12/wujudkan-harmonisasi-dan-sinergitas.html?m=1

Poster - Timeline

 

Mari majukan dunia pers dan jurnalistik mahasiswa kedokteran Indonesia dengan berkontribusi bersama BPN ISMKI!

Kami tunggu partisipasi kalian semua, HIDUP PERS MAHASISWA!

Maaf (Bagian 1)

Aku sosok yang terduduk di bangku seberang jalan itu. Memandang sekitar yang penuh dengan lalu lalang kendaraan beroda empat ataupun beroda dua. Langit gelap terlihat berwarna-warni oleh kelap-kelip lampu kendaraan, lampu dari ruang gedung-gedung pencakar langit yang mengelilingi kota ini, juga oleh lampu jalan yang menyinariku di atas bangku ini, dan bulan yang malam ini terihat begitu sempurna dengan purnamanya yang begitu indah. Trotoar di tepian jalan ramai oleh lalu-lalang manusia yang berjalan kaki.

Ada laki-laki berkemeja biru muda polos, berkacamata, yang sedang menenteng tas sambil sesekali menengok jam tangan di tangan kirinya. Lelaki itu berjalan sedikit cepat. Mungkin ia ingin segera pulang ke rumahnya, melepas lelah dengan istri dan anak tercinta setelah melalui hari yang melelahkan di kantor.

Ada pula sepasang anak manusia, usia muda, sedang menikmati kebersamaan di malam yang indah ini. Si pria yang memakai jaket merah, merangkul si wanita yang memakai jaket biru gelap sambil bersenda gurau, dan terlihat tawa kecil dari wanita tersebut. Ah, mereka serasi sekali. Pria yang tampan dan wanita dengan paras anggun nan meneduhkan.

Ada pula anak-anak kecil yang bersepeda di jalur sepeda di tepi jalan dekat trotoar. Ada anak lelaki yang menaiki sepeda dengan lampu-lampu kecil berwarna-warni yang dililitkan ke sepedanya, disusul anak-anak lain dibelakangnya dengan sepedanya masing-masing.

Kota ini terlihat indah dan begitu ramai. Namun, bagiku yang sedang duduk di bangku ini, aku tidak merasa demikian. Ini malam yang menyebalkan! Aku tak kuasa lagi menutupi wajahku yang sudah bosan dan terlalu kesal ini.

***

Aaaaarrghhhhhh!!!

Aku panik! Semakin panik melihat jam di atas mejaku. Jam 20.20! Aaaahhh! Aku baru saja terbangun dari tidurku! Tidur yang sangat pulas setelah lelah dengan berbagai aktivitas di rumah sakit tadi. Periksa pasien, mengunjungi pasien rawat inap menggantikan dokter konsulen yang berhalangan hadir, kemudian harus memulai praktik juga di rumah sakit swasta dekat taman kota di siang hari. Pasien bejubel banyak sekali. Rasanya untuk bernafas hari ini pun terasa begitu sulit. Yah, bagaimanapun ini adalah risiko pekerjaanku sebagai dokter.

Aku segera meloncat, bukan berdiri lagi, dari kasurku dan berlari menuju kamar mandi. Seharusnya, meski seharian ini tadi sudah berlelah-lelah, hari ini akan menjadi hari yang sangat berkesan. Ah! Ini karena aku terlalu pulas dalam tidurku! Kubuka pintu kamar mandi dan bergegas mandi. Tak lama berselang, 10 menit, aku sudah selesai menyeka tubuhku dengan handuk. Kulihat lagi jam di atas mejaku. 20.30. Sudah terlalu larut. Ah! Aku semakin panik!

Kubuka pintu lemari bajuku. Aduh! Aku lupa menyiapkan baju untuk malam ini! Lemari bajuku terlihat kosong, hanya ada beberapa kemeja yang jarang kukenakan karena aku tidak begitu menyukai motifnya. Sementara kemeja favoritku masih tergantung di jemuran dekat balkon rumah. Sudah kering memang, tapi belum sempat disetrika. Kulihat lagi jam di atas mejaku. 20.32. Ah, sudah tidak ada waktu untuk menyetrika pakaian! Kuputuskan menyambar kemeja yang menurutku paling baik di antara kemeja yang tergantung di lemari, kemeja lengan panjang berwarna putih dengan garis vertikal. Aku pun memakai celana panjang warna hitam yang sebelumnya kukenakan seharian tadi. Terlihat sedikit kusam. Tapi, ya sudahlah. Sudah tidak ada waktu untuk menyetrika celana maupun kemeja yang baru dicuci pagi tadi. Kulihat lagi jam diatas mejaku. 20.45. Aduh! Sudah terlalu malam.

Bergegas aku keluar dari kamarku, berlari menuruni tangga, menuju garasi. Kunyalakan sepeda motor sport-ku dan membawanya menuju kota.

***

“Ini Coffee Misto-nya, Mbak.”

Suara pelayan kafe yang berdiri di depanku membuyarkan lamunanku. Lamunan yang menghampiri karena sudah terlalu kesal dan bosan. Pelayan tersebut kemudian meletakkan pesananku diatas meja

“Oh…iya, Mas. Terima kasih.”

Kuambil segelas Coffee Misto yang kupesan barusan. Merasakannya beberapa teguk. Kopi ini nikmat sekali. Namun, tetap tidak dapat mengembalikan mood-ku yang terlanjur kesal sedari tadi. Kini aku tidak duduk di bangku seberang jalan itu. Aku sudah berada di kafe seberang jalan bangku tersebut. Kupikir, meminum sedikit kopi akan mengembalikan keceriaanku di malam yang ramai dan indah ini. Kopi adalah salah satu minuman favoritku selain coklat. Kontras sekali, di mana kopi mengandung banyak kafein dan bersifat meningkatkan aktivitas saraf simpatis sehingga cenderung meningkatkan aktivitas organ-organ dalam tubuh, sementara cokelat justru bersifat relaksasi dan mood booster. Mungkin lebih cocok bila aku meminum segelas cokelat hangat pada saat ini. Namun, entah mengapa aku ingin menikmati segelas Coffee Misto di malam ini untuk mengembalikan mood. Sayangnya, itu tidak berhasil.

Malam ini sebenarnya sudah kupersiapkan begitu spesial. Kukenakan blus putih lengan panjang yang berpadu dengan rok biru. Ini adalah padanan baju yang paling aku sukai, karena banyak yang mengatakan aku terlihat cantik dan anggun dengan baju ini. Aku pun memakai sepatu terbaikku, hanya kukenakan bila ada acara spesial yang harus kuhadiri. Terakhir aku memakai sepatu ini saat pesta pernikahan salah satu sahabat terbaikku, Lisa, 8 bulan yang lalu.

Kini, aku terduduk di sebuah bangku dalam kafe ini. Bangku yang terdekat dengan tempat resepsionis. Menatap malam di luar sana dari tembok kaca yang mengelilingi kafe ini. Malam masih ramai. Tentu saja, seperti tadi kujelaskan di awal cerita, malam ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Bulan bersinar indah, malam cerah tanpa hujan, sederet toko-toko makanan, mulai dari kafe-kafe hingga restoran chinese di ujung jalan ini terlihat sangat ramai. Terutama kafe ini.

Banyak sekali orang yang mengantri di depan meja resepsionis kafe ini untuk memesan segelas kopi hangat ataupun makanan ringan seperti roti maupun donat. Ada yang datang sendirian, misalnya lelaki berambut ikal yang menjinjing tas kecil di tangan kirinya itu. Aku kira isi dari tas itu adalah sebuah laptop. Mungkin lelaki itu ingin mengerjakan tugasnya di kafe ini.

Ada pula seorang bapak, ibu, dan dua anaknya, yang satu laki-laki, berambut lurus dan pendek, memakai baju kuning dengan sedikit corak kemerahan di bagian depannya. Anak laki-laki itu tampak lucu sekali. Yang satu lagi, anak perempuan yang masih sangat kecil, yang sedang menikmati dalam gendongan ibunya. Matanya terbuka, tangannya bergerak-gerak seakan ingin meraih sesuatu. Lucu sekali.

Ada pula sepasang anak manusia, usia muda, yang baru saja memasuki kafe ini. Si pria yang memakai jaket merah, merangkul si wanita sambil memesan beberapa donat dan minuman. Si wanita dengan jaket biru gelap yang dirangkulnya tak berhenti tersenyum. Ah, mereka serasi sekali. Pria yang tampan dan wanita dengan paras anggun nan meneduhkan. Tunggu…bukankah itu pasangan yang tadi kulihat saat duduk di bangku seberang jalan itu? Ah, benar. Itu mereka. Mungkin mereka juga ingin menikmati indahnya malam ini dengan segelas kopi dan beberapa butir donat. Manis sekali.

By the way, donat di kafe ini memang terkenal sangat enak. Juga banyak variasi pilihannya. Aku sangat suka donat yang rasa mint dengan taburan chocochips crunch di atasnya. Manis dan segar. Setiap aku datang di kafe ini, pasti aku selalu membeli donat tersebut. Tidak hanya satu. Aku sering membeli hingga empat butir karena memang donat ini sangat enak. Namun, kali ini aku sedang tidak ingin mencicipi lezatnya donat mint chococips crunch itu.

-bersambung-

Karya: Hafidh Riza (2009)

Di Sudut Mata

Aku Temu Kamu Sore Ini

Tapi, Sepertinya Kamu Tidak Melihatku

Oh, Aku Juga Tidak Melihatmu

Sungguh, Aku (Pura-pura) Tidak Melihatmu Kok

Hanya Saja Dua Bola Mata Ini Ada di Sudut Mata, Mengawasimu

Sudah Kubilang, Maafkan Caraku Menatapmu

Aku Tidak Agresif, Hanya Agak Salah Tingkah Saja

Apa Bola Matamu Juga di Sudut Mata?

Ah, Kacamatamu Menghalangi

Karya: Ziyan Bilqis Amran (2014)